Sabtu, 17 Januari 2015

Tim Daihatsu Terios 7-Wonders Bermalam di Tana Toraja

Tana Toraja, KompasOtomotif - Memasuki etape keempat tim ekspedisi Daihatsu Terios 7 Wonders Amazing Celebes Heritage, bertolak dari Parepare menuju Rantepao, Tana Toraja, melintasi Enrekang dan Makale dengan jarak tempuh 210 km. Perjalanan di mulai pukul 14.00 Wita dari Masjid Agung Parepare, Sulawesi Selatan.

Awal perjalanan tim langsung disuguhi dengan jalan mulus, sehingga rombongan bisa meningkatkan kecepatan. Tapi, demi menjaga keamanan dan keselamatan, tim sepakat menahan laju kendaraan sekitar 80-90 kpj. Setelah beberapa jam perjalanan, memasuki Rantepao, kondisi jalan mulai menanjak.

"Ketinggian tanjakan sekitar 25-30 derajat, dipenuhi dengan tikungan tajam, bahkan beberapa ada yang ekstrem. Karena semangat anggota tim ingin segera tiba di Tana Toraja, dengan konsentrasi tinggi, suguhan jalan ini berhasil dilalui tanpa kendala berarti," jelas Indra Aditya, salah satu pemimpin tim, kepada KompasOtomotif, Senin (6/10/2014).

Tari Pa'Gellu
Rombongan kemudian tiba di Rantepao sekitar pukul 20.00 Wita, langsung disambut dengan Tari tradisional Pa'Gellu khas Tama Toraja. Tari ini awalnya melambangkan acara penyambutan terhadap para patriot atau pahlawan yang kembali dari medan perang dengan membawa kemenangan. Tapi sekarang, tarian ini sudah sering dipertunjukkan pada upacara kegembiraan lainnya, seperti pesta pernikahan, pesta syukuran di musim panen, atau saat menyambut tamu kehormatan.

Tarian ini dipentaskan oleh dua remaja wanita. Mereka menari diiringi irama tabuhan gendang yang dimainkan remaja lain. Para penari yang disebut ma’toding ini mengenakan busana khas lengkap dengan aksesori tambahan berkilau emas dan perak, antara lain keris emas (sarapang bulawan), kandaure, sa’pi’ Ulu’, dan tali tarrung.

Selain penari, sambutan juga datang dari anak taman kanak-kanak yang bermain alat musik bambu. Mereka melantunkan lagu-lagu kebangsaan Indonesia. Tim juga menerima penyambutan tambahan berupa pengalungan bunga oleh Suku Adat Toraja yang diterima oleh David Setiawan, Divisi Promosi PT Astra Daihatsu Motor (ADM).

Horor
Malam semakin larut, tim pun memutuskan untuk beristirahat menumpang salah satu rumah tradisional, Tongkonan. Rumah ini selain desain dan bentuknya yang unik, juga punya cerita menarik.

Sesuai tradisi dan adat istiadat yang berlaku di Tana Toraja, jika ada kerabat yang meninggal dunia, maka jasadnya tidak langsung dikuburkan. Kebiasaan ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Tana Toraja, yang melihat kematian itu hanya proses peralihan di antara dua dunia.

Bagi keluarga yang mampu, dapat melakukan upacara khusus dengan penyembelihan kerbau. Jika yang belum mampu, maka jasad akan disimpan, salah satunya di dalam rumah Tongkonan. Kebetulan, malam itu semua anggota rombongan tidur dalam satu rumah yang sama. Sempat ada ajakan untuk bermalam di luar rumah, tetapi tidak ada satu pun anggota tim yang bersedia. Kabarnya, tetangga dekat rumah yang diinapi tim, juga lagi menyimpan salah satu jasad keluarganya.

"Jadi rasanya malam itu agak campur aduk, mulai dari ngeri, horor, tetapi badan juga lelah karena perjalanan jauh. Selain itu suasana lingkungan yang gelap membuat seluruh peserta tim memilih bermalam di dalam rumah," jelas Endi Supriatna, salah satu peserta rombongan.

Pemakaman termahal
Prosesi pemakaman di Tana Toraja juga termasuk salah satu yang paling unik di dunia. Setiap keluarga wajib menyelenggarakan proses adat berupa pemotongan kerbau sebagai syarat wajib. Setiap ekor kerbau harganya mulai dari Rp 60 juta sampai Rp 350 juta.

Setiap upacara pemakaman, bukan hanya satu kerbau yang disembelih tetapi ada yang sampai puluhan. Semakin besar dan banyak jumlah kerbau yang dipotong, semakin tinggi derajat keluarga dan jasad yang dimakamkan. Jadi, tidak heran jika sekali upacara pemakaman di Tana Toraja biayanya bisa mencapai miliaran rupiah.

Faktor dana juga yang membuat sebagian keluarga yang belum mampu, harus menyimpan dulu jasad keluarga yang meninggal dunia. Selain kerbau, proses upacara biasanya juga dilengkapi dengan tambahan hewan lain, seperti babi atau kambing, tapi sifatnya hanya sebagai pelengkap saja.

Kebanggaan setiap keluarga diperlihatkan dengan adanya hiasan di masing-masing rumah dengan kerangka tanduk kepala kerbau.

Londa
Setelah bermalam dan mengembalikan kondisi tubuh kembali prima, rombongan diajak menuju lokasi pemakaman warga Tana Toraja yang disebut tebing Londa. Di tempat inilah jasad-jasad yang sudah menerima upacara disemayamkan. Terlihat beberapa lambang-lambang khas Toraja, tulisan beberapa pesan terakhir untuk dibawa "menemani" sang jasad.

Pihak keluarga juga kerap membuat patung-patung khusus yang menyerupai jasad yang sudah meninggal dunia. Bastian, salah satu pengantar tamu (guide) lokal, memperbolehkan tim masuk ke salah satu lubang berisi jenazah di dalam tebing. Di sepanjang tebing atau goa ini, berserakan tulang-belulang manusia, mulai dari tengkorang, kaki, tangan, dan pinggul.

"Tidak semua warga Toraja boleh dimakamkan di dalam tebing, hanya kasta-kasta tertentu saja. Semakin tinggi jasad dimakamkan di atas tebing, semakin tinggi juga derajat namanya," jelas Bastian.

Dari seluruh jasad yang ada di lokasi itu, ada sepasang kekasih Toraja yang memilih mengakhiri hidupnya bersamaan karena tidak mendapat restu dari kedua orang tua. Keduanya hidup di tahun 1970-an dan sampai saat ini tengkorak keduanya masing berpegangan tangan.
Pohon Tarra
Dari tebing tempat pemakaman jenazah, rombongan diajak Aris, juga salah satu guide setempat ke Pohon Tarra, tepatnya di Kambira, Tana Toraja. Pohon ini usianya sudah 300 tahun lebih dan dijadikan tempat penyimpanan bayi yang meninggal dunia.

Uniknya, jasad bayi ini seperti dicangkok di batang utama pohon, mirip dengan yang dilakukan di Londa. Batang pohon dilubangi kemudian ditaruh jasad di dalam, dengan ditutupi anyaman ijuk. Menurut ajaran aluk Todolo (animisme), hanya bayi yang belum tumbuh gigi alias masih menyusui yang diperbolehkan dimakamkan di pohon ini.

Menurut ajaran aluk Todolo (animisme), bayi yang meninggal dunia ini hanya berganti alam saja. Untuk itu, dibutuhkan orang tua yang merawatnya. Pohon Tarra ini dianggap sebagai yang bisa merawat mereka karena batangnya mengeluarkan getah yang dianggap mirip seperti air susu ibu.

"Pohon ini sejenis Cimpedak, biasanya mengeluarkan wangi yang khas. Tetapi, pohon ini terakhir digunakan sekitar 1950, karena mayoritas warga Tana Toraja kini sudah menganut ajaran Kristiani, jadi generasi selanjutnya dimakamkan seperti biasa," jelas Aris.

Kini, tim sudah melanjutkan lagi perjalanan etape kelima, menuju Tanjung Bira, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Di tempat ini, tim akan mengeksplorasi salah satu kekayaan alam Indonesia yakni lokasi pembuatan kapal phinisi yang sudah dikenal ke seluruh negeri. (ADV)
Previous Post
Next Post

0 komentar: